Jumat, 04 Februari 2011

“Rekonstruksi Pendidikan Vokasi (SMK)” Sebuah Gagasan


Dosen: Prof. Muchlas Samani


Dalam melakukan rekonstruksi SMK maka perlu terlebih dahulu penulis ungkapkan
1. SMK dan Landasan filosofis
2. Permasalahan SMK
3. Kebijakan UU/peluang/tantangan/kelemahan/kekuatan (Analisis SWOT SMK)
4. Rancangan/rekonstruksi SMK

1. SMK DAN LANDASAN FILOSOFIS
Ditinjau secara sistemik, pendidikan kejuruan pada dasarnya merupakan subsistem dari sistem pendidikan. Terdapat banyak definisi yang diajukan oleh para ahli tentang pendidikan kejuruan dan definisi-definisi tersebut berkembang seirama dengan persepsi dan harapan masyarakat tentang peran yang harus dimainkannya (Samani, 1992:14). Evans & Edwin (1978:24) mengemukakan bahwa pendidikan kejuruan merupakan bagian dari sistem pendidikan yang mempersiapkan individu pada suatu pekerjaan atau kelompok pekerjaan. Harris seperti yang dikutip oleh Slamet (1990:2), menyatakan pendidikan kejuruan adalah pendidikan untuk suatu pekerjaan atau beberapa jenis pekerjaan yang disukai individu untuk kebutuhan sosialnya. Menurut House Committee on Education and Labour (HCEL) pendidikan kejuruan adalah suatu bentuk pengembangan bakat, pendidikan dasar keterampilan, dan kebiasaan-kebiasaan yang mengarah pada dunia kerja yang dipandang sebagai latihan keterampilan (Malik, 1990:94). Dari definisi tersebut terdapat satu pengertian yang bersifat universal seperti yang dinyatakan oleh National Council for Research into Vocational Education Amereka Serikat (NCRVE, 1981:15), yaitu bahwa pendidikan kejuruan merupakan subsistem pendidikan yang secara khusus membantu peserta didik dalam mempersiapkan diri memasuki lapangan kerja. Dari batasan yang diajukan oleh Evans, Harris, HCEL, dan NCRVE tersebut dapat disimpulkan bahwa salah satu ciri pendidikan kejuruan dan yang sekaligus membedakan dengan jenis pendidikan lain adalah orientasinya pada penyiapan peserta didik untuk memasuki lapangan kerja.
Agak berbeda dengan batasan yang diberikan oleh Evans, Harris, HCEL, dan NCRVE, Finch & Crunkilton (1984:161) menyebutkan pendidikan kejuruan sebagai pendidikan yang memberikan bekal kepada peserta didik untuk bekerja guna menopang kehidupannya (education for earning a living).
Dari definisi yang diajukan oleh Evans & Edwin, Harris, HCEL, NCRVE maupun Finch & Crunkilton dapat disimpulkan bahwa pendidikan kejuruan mempersiapkan peserta didik untuk dapat bekerjaa pada bidang tertentu, berarti pula mempersiapkan mereka agar dapat memperoleh kehidupan yang layak melalui pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan masing-masing serta norma-norma yang berlaku.
Ciri pendidikan kejuruan sebagai persiapan untuk memasuki dunia kerja dapat dimengerti karena secara historis pendidikan kejuruan merupakan perkembangan dari latihan dalam pekerjaan (on the job training) dan pola magang (apprenticeship) (Evans & Edwin, 1978:36). Pada pola latihan dalam pekerjaan peserta didik belajar sambil langsung bekerja sebagai karyawan baru tanpa ada orang yang secara khusus ditunjuk sebagai instruktur, sehingga tidak ada jaminan bahwa peserta didik akan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan. Walaupun demikian pola latihan dalam pekerjaan memiliki keunggulan karena peserta didik dapat langsung belajar pada keadaan yang sebenarnya sehingga mendorong dia belajar secara inkuiri (Elliot, 1983:15).
Pada pola magang terdapat seorang karyawan senior yang secara khusus ditugasi sebagai instruktur bagi keryawan baru (peserta didik) yang sedang belajar. Instruktur tersebut bertanggungjawab untuk membimbing dan mengajarkan pengetahuan serta keterampilan yang sesuai dengan tugas karyawan baru yang menjadi asuhannya. Dengan demikian pola magang relatif lebih terprogram dan jaminan bahwa karyawan baru akan dapat memperoleh pengetahuan dan keterampilan tertentu lebih besar dibanding pola latihan dalam pekerjaan (Evans & Edwin, 1978:38).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang makin canggih membawa pengaruh terhadap pola kerja manusia. Pekerjaan menjadi kompleks dan memerlukan bekal pengetahuan dan keterampilan yang makin tinggi, sehingga pola magang dan latihan dalam pekerjaan kurang memadai karena tidak memberikan dasar teori dan keterampilan sebelum peserta didik memasuki lapangan kerja sebagai karyawan baru. Oleh karena itu kemudian berkembang bentuk sekolah dan latihan kejuruan yang diselenggarakan oleh sekolah kejuruan bekerja sama dengan kalangan industri dengan tujuan memberikan bekal teori dan keterampilan sebelum peserta didik memasuki lapangan kerja.
Perlu diingat bahwa pembagian pendidikan kejuruan menjadi beberapa model tersebut bukanlah suatu pembagian yang bersifat ekskusif dan tumpang tindih. Semua model tersebut tetap berjalan bahkan sering digunakan secara saling melengkapi. Banyak sekolah atau latihan kejuruan yang pada saat tertentu menerapkan latihan dalam pekerjaan atau magang di perusahaan yang sesuai dengan programnya.
Ditinjau dari tujuannya, menurut Thorogood (1982:328) di sebagian besar negara Organization for Economic cooperation and Development (OECD) pendidikan kejuruan bertujuan untuk: (1) memberikan bekal keterampilan individual dan keterampilan yang laku di masyarakat, sehingga peserta didik secara ekonomis dapat menopang kehidupannya, (2) membantu peserta didik memperoleh atau mempertahankan pekerjaan dengan jalan memberikan bekal keterampilan yang berkaitan dengan pekerjaan yang diinginkannya, (3) mendorong produktivitas ekonomi secara regional maupun nasional, (4) mendorong terjadinya tenaga terlatih untuk menopang perkembangan ekonomi dan industri, (5) mendorong dan meningkatkan kualitas masyarakat.
Agak berbeda dengan Thorogood, Evans seperti yang dikutip oleh Wenrich & Wenrich (1974:63) menyebutkan bahwa pendidikan kejuruan bertujuan untuk: (1) menghasilkan tenaga kerja yang diperlukan oleh masyarakat, (2) meningkatkan pilihan pekerjaan yang dapat diperoleh oleh setiap peserta didik, dan (3) memberikan motivasi kerja kepada peserta didik untuk menerapkan berbagai pengetahuan yang diperolehnya.
Dari tujuan pendidikan kejuruan yang diajukan oleh Thorogood dan Evans tersebut dapat disimpulkan bahwa di samping mengemban tugas pendidikan secara umum, pendidikan kejuruan mengemban misi khusus, yaitu memberikan bekal pengetahuan dan keterampilan kepada peserta didik untuk memasuki lapangan kerja dan sekaligus menghasilkan tenaga kerja terampil yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Di samping tujuan khusus yang diajukan oleh Thorogood dan Evans tersebut, Crunkilton (1984:25) menyebutkan bahwa salah satu tujuan utama pendidikan kejuruan adalah meningkatkan kemampuan peserta didik sehingga memperoleh kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Menurut Miner (1974:48-56) bekal yang dipelajari dalam pendidikan kejuruan akan merupakan bekal untuk mengembangkan diri dalam bekerja. Dengan bekal kemampuan mengembangkan diri tersebut diharapkan karier yang bersangkutan dapat meningkat dan pada gilirannya kehidupan mereka akan makin baik (Karabel & Hasley, 1977:14). Penelitian yang dilakukan Nurhadi (1988) dan Samani (1992) ternyata memperkuat pendapat Miner serta Karabel dan Hasley tersebut.
Bagi masyarakat Indonesia misi pendidikan kejuruan, seperti diungkapkan oleh Crunkilton tersebut, sangat penting karena pada umumnya siswa sekolah kejuruan berasal dari masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah (Brotosiswoyo, 1991:8), sehingga apabila sekolah kejuruan berhasil mewujudkan misinya berarti akan membantu menaikkan status sosiala ekonomi masyarakat tingkat bawah. Dengan kata lain sekolah kejuruan dapat membantu meningkatkan mobilitas vertikal dalam masyaarakat (Elliot, 1983:42).
Pendidikan kejuruan dapat dikelompokkan berdasarkan jenjang dan menurut struktur programnya. Pengelompokan berdasarkan jenjang dapat didasarkan atas jenjang kecanggihan keterampilan yang dipelajari atau jenjang pendidikan formal yang berlaku (Zulbakir & Fazil, 1988:7). Jenjang pendidikan formal yang berlaku dikenal pendidikan kejuruan tingkat sekolah menengah (secondary) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan berbagai program keahlian seperti Listrik, Elektronika Manufaktur, Elektronika Otomasi, Metals, Otomotif, Teknik Pendingin, Gambar Bangunan, Konstruksi Baja, Tata Busana, Tata Boga, Travel and Tourism, dan sebagainya serta tingkat di atas sekolah menengah (post secondary) misalnya politeknis (IEES, 1986:124).
Berdasarkan struktur programnya, khususnya dalam kaitan dengan bagaimana sekolah kejuruan mendekatkan programnya dengan dunia kerja, Evans seperti yang dikutip oleh Hadiwiratama (1980:60-69) membagi sekolah kejuruan menjadi lima kategori, yaitu (1) program pengarahan kerja (pre vocational guidance education), (2) program persiapan kerja (employability preparation education), (3) program persiapan bidang pekerjaan secara umum (occupational area preparation education), (4) program persiapan bidang kerja spesifik (occupational specific education), dan (5) program pendidikan kejuruan khusus (job specific education).

2. PERMASALAHAN SMK
Berdasarkan pengamatan selama ini, permasaahan yang ada di SMK terjadi karena ketidakkonsistensinya penyelenggaraan pendidikan yang disebabkan beberapa faktor, antara lain:
1. Landasan hukum (undang-undang, peraturan pemerintah, dan keputusan menteri) yang mengatur penyelenggaraan jenjang pendidikan menengah belum dilaksanakan secara baik dan konsisten.
2. Model dan pengembangan kurikulum pada jenjang SMK masih belum optimal.
3. Dukungan peranserta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan SMK masih kurang optimal, khususnya peran dunia usaha dan industri dalam pengembangan pendidikan kejuruan.
4. Fasilitas sarana dan prasarana pembelajaran dan praktikum yang kurang memadai untuk pembentukan kompetensi siswa, terutama fasilitas praktikum pada pendidikan kejuruan.
5. SDM penyelenggara pendidikan di tingkat SMK yang belum profesional sesuai bidangnya.

1. Landasan Hukum Penyelenggaraan Jenjang Pendidikan Menengah
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional merupakan sumber landasan hukum tertinggi yang mengatur penyelenggaraan pendidikan di Indonesia. Dalam rangka penyelenggaraan pendidikan menengah, produk hukum telah ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah. Selanjutnya, secara operasional pada masing jenis pendidikan, produk hukum penyelenggaraannya ditetapkan melalui keputusan dan peraturan Menteri Pendidikan. Sebagai contoh, Keputusan Menteri (Kepmen) Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0490/U/1992 tentang Sekolah Menengah Kejuruan, Kepmen Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 80/U/1993 tentang Kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan. Menurut PP 29 tahun 1990 Pasal 1 ayat 3 bahwa Pendidikan Kejuruan adalah pendidikan pada jenjang mengah yang mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk melaksanakan jenis pekerjaan tertentu.
Semua produk hukum di atas telah disusun runtut dan “ideal” dalam rangka penyelenggaraan pendidikan, namun dalam implementasi penyelenggaraan masih kurang didukung kebijakan strategi yang dapat mewujudkan arah dan tujuan yang diharapkan produk hukum di atas. Pada sekolah menengah kejuruan (SMK), banyak lulusan yang tidak dapat terserap dunia kerja yang disebabkan ketidaksesuaian tuntutan pasar kerja dengan kompetensi yang dimiliki siswa. Salah satu penyebab terjadinya kondisi ironis ini disebabkan ketidakseimbangan antara landasan hukum dengan perencanaan dan implementasi kebijakan yang ditetapkan. Dalam arti bahwa target capaian yang diiginkan masih terlalu jauh dengan kenyataan yang ada.


2. Model dan Pengembangan Kurikulum pada Jenjang Pendidikan Menengah Masih Belum Mantap
Kurikulum merupakan salah satu komponen penting dalam sistem pendidikan nasional. Kurikulum berfungsi sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan ajar serta cara yang digunakan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan kegiatan pembelajaran. Kurikulum diperlukan untuk membantu guru dalam mengembangkan pengetahuan, sikap, nilai, dan keterampilan dari berbagai berbahan kajian. Kurikulum yang dapat meningkatkan kemampuan guru dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran disusun melalui proses yang komprehensif dan sistematis. Dengan demikian, dalam pengembangan kurikulum perlu diterapkan pedekatan menyeluruh secara sistematik dan sistemik.
Pengembangan kurikulum seharusnya mengandung arti perubahan, pergantian (alteration), atau modifikasi terhadap susunan yang ada. Perubahan yang terjadi dalam pengembangan kurikulum seharusnya memiliki karakteristik perubahan yang bermanfaat, perubahan yang dilakukan secara terencana, dan perubahan harus dilakukan secara progresif yang membawa dampak posif di masa mendatang.
Sejarah pengembangan pendidikan menengah nampak dilakukan kurang sistematis dan sistemik. Dalam tataran kebijakan konsep pengembangan kurikulum dapat disusun dengan baik, namun dalam implementasinya banyak kendala yang dihadapi sekolah dan para guru. Kondisi ini menunjukkan bahwa pengembangan kurikulum masih belum mantap, sehingga diperlukan koordinasi intensif dengan berbagai pihak yang terkait agar dihasilkan kurikulum yang berorintasi langsung sesuai dengan arah dan tujuan pada pendidikan umum dan kejuruan. Selain itu kurikulum di sekolah menengah kejuruan tampaknya berjalan sendiri tanpa melibatkan DUDI sebagai pihak kedua yang turut berperan dalam peningkatan kompetensi siswa.
Kurikulum yang selalu berubah-ubah juga menunjukkan bahwa belum ada kurikulum yang ideal untuk segala jaman. Sebaiknya kurikulum yang dikembangkan bersifat “adaptif” atau dengan kata lain dapat menyesuaikan siring dengan perkembangan jaman dan era teknologi.

3. Dukungan Peranserta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan Masih Kurang Optimal
Penyelenggaraan pendidikan bukan semata-mata menjadi tanggungjawab pemerintah dan sekolah. Peranserta masyarakat (stakeholder) memiliki peranan penting dalam mewujudkan penyelenggaraan pendidikan. Masyarakat dapat berperan dalam penetapan kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan, pengembangan kurikulum terutama kualitas kurikulum yang sesuai dengan tuntutan yang diharapkan masyarakat, dan penyaluran lulusan yang dihasil dari proses penyelenggaraan pendidikan. Selama ini, masih terkesan bahwa masyarakat masih belum menyadari perannya dalam rangka peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Setiap hasil kebijakan dan perubahan kurikulum yang dihasilkan dari pemerintah selalu menjadi polemik bahkan terjadi kontra produktif. Kondisi yang demikian kurang efektif dalam penyelenggaraan pendidikan.
Peranserta masyarakat, terutama DUDI dunia usaha dan industri, sangat terasa masih kurang optimal perannya dalam rangka penyelenggaraan pendidikan kejuruan. Kelemahan peranserta masyarakat tersebut nampak ketika pengembangan dan evaluasi kurikulum pendidikan kejuruan serta penyaluran lulusan. Penerapan pendekatan supply driven menjadi demand driven pada pendidikan kejuruan (SMK) masih belum memperoleh tanggapan positif dari masyarakat. Padahal, sistem demand driven dirancang yang dipicu kebutuhan pasar kerja, karena pada dasarnya program pendidikan kejuruan berorientasi kebutuhan nyata pasar kerja. Dengan demikian, peran aktif dunia usaha dan industri dalam penyelenggaraan pendidikan kejuruan sangat diperlukan.

4. Fasilitas sarana dan prasarana pembelajaran dan praktikum yang kurang memadai untuk pembentukan komptensi siswa
Fasilitas pembelajaran merupakan bagian penting pada penyelenggara pendidikan dalam melaksanakan proses pembelajaran dan memerlukan pengelolaan dan pemanfaatan yang efektif dan efisien. Juga fasilitas praktikum juga sangat penting dalam pengembangan kompetensi siswa. Sebagai sekolah kejuruan siswa dituntut untuk dapat mengoptimalkan kegiatan praktek disekolah, dimana perbandingan teori dan praktek 30:70. Dimana kegiatan praktikum adalah ciri dari pendidikan kejuruan.
Dengan diterapkannya sistem desentralisasi pendidikan dan di sisi lain dengan diterapkannya pengelolaan pendidikan yang mengacu pada pencapaian standar kompetensi tertentu sangat berdampak pada pemenuhan kebutuhan akan fasilitas pembelajaran di sekolah. Selain itu, rendahnya anggaran pendidikan dari prosentase total Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) menyebabkan kecenderungan penyelenggaraan pendidikan berjalan lambat, dan berbeda jauh dari kualitas pendidikan negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Australia. Bahkan menurut laporan survey pendidikan internasional, tingkat kualitas pendidikan sekarang berada di bawah Vietmam. Kecilnya anggaran pendidikan ini jelas mempengaruhi secara langsung kualitas pendidikan, terutama kemampuan sekolah menyediakan fasilitas atau sarana prasarana belajar yang memadai.
Karena itu, fasilitas pembelajaran dan praktikum seharusnya dikembangkan dan dioptimalkan secara integral berdasarkan acuan standar kualitas baku. Ruang kelas, ruang praktik, peralatan dan bahan praktikum, laboratorium, ruang workshop, perpustakaan, alat dan media pembelajaran merupakan fasilitas belajar mengajar dan praktikum yang direncanakan secara utuh dalam satu kesatuan dan terstandar.

5. Sumber Daya Manusia Penyelenggara Pendidikan di Tingkat Sekolah Belum Profesional
Kepala sekolah, guru, staf kependidikan (tata usaha, pustakawan, dan teknisi/laboran) merupakan kunci sukses atau tidaknya penyelenggaraan pendidikan dan berhadapan langsung dengan subyek pendidikan (siswa). Kepala sekolah mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan maju dan mundurnya penyelenggaraan pendidikan di lembaganya. Dengan demikian, kepala sekolah harus memiliki potensi yang dapat dikembangkan secara optimal dan profesional.
Guru merupakan jiwa dari sekolah. Oleh karena itu, peningkatan profesionalisme guru perlu memperoleh perhatian tersendiri baik dari sekolah maupun pemerintah. Saat ini, masih banyak guru yang mengajar tidak sesuai dengan bidang dan kompetensi yang seharusnya. Peningkatan profesionalisme guru harus dilakukan secara berkesinambungan dan kontinyu. Sertifikasi guru dalam jabatan yang digulirkan pemerintah akhir-akhir ini merupakan perlu didukung masyarakat luas, dan dalam pelaksanaannya harus tetap mengacu pada standar kompetensi yang ditetapkan secara utuh, yaitu standar kompetensi pedogogis, kepribadian, profesional, dan sosial.
Kepala sekolah dan guru tidak mungkin bekerja sendiri, tanpa bantuan tenaga kependidikan maka seluruh proses kegiatan belajar mengajar tidak mungkin dapat bergerak. Jadi, untuk mewujudkan sekolah yang berkualitas, semua warga sekolah mempunyai peran yang besar dan harus bekerja secara profesional sesuai dengan bidang kerja masing-masing.


3. KEBIJAKAN UU/PELUANG/TANTANGAN/ KELEMAHAN/ KEKUATAN (ANALISIS SWOT SMK)
Pembangunan Bangsa Melalui Pendidikan Kejuruan
Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja dalam bidang tertentu. Pendidikan kejuruan harus merencanakan dan mengusahakan proses pembelajaran yang berorientasi pada nilai dan moral sejalan dengan program pembangunan karakter bangsa.
Otonomi Daerah
Ada hal lain yang perlu dicermati adalah dengan kebijakan Otonomi Daerah yang menjadi arah pembangunan kita, membawa suatu konskwensi perlu adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang memerlukan dukungan kemampuan teknis, produksi dan kemampuan manajerial yang handal di seluruh daerah. Hal ini perlu diwaspadai jangan sampai kebijakan pusat (makro) tidak dapat diakomodir atau diterjemahkan oleh pemerintah daerah.
Pengetahuan dan Keterampilan
Untuk bisa bertahan hidup dan sukses dalam era globalisasi ini diperlukan pengetahuan dan keterampilan yang relevan Penguasaan mata pelajaran berikut menjadi sangat penting: Bahasa Inggris dan bahasa dunia yang lain, Seni, Matematika, Sains, Ekonomi, Geografi, Sejarah dan Kewarganegaraan. Kompetensi yang mencakup kesadaran global, kesadaran ekonomi dan kewirausahaan, kesadaran kewarganegaraan, dan kesadaran kesehatan.
Keterampilan Belajar dan Berinovasi
Keterampilan belajar dan berinovasi telah dikuasai sebagai keterampilan yang dapat membedakan siswa yang siap dan yang tidak siap dalam menghadapi kehidupan dan lingkungan kerja yang terus bertambah musykil. Kreativitas dan keterampilan inovasi tampak pada kemampuan siswa menunjukkan orisinalitas dan temuan dalam karya, selain kemampuan mengembangkan dan mengomunikasikan gagasan baru kepada orang lain. Juga akan tampak pada sikap terbuka dan tanggap terhadap perspektif baru dan beraneka, serta memanfaatkan gagasan kreatif guna membuat kontribusi yang berguna bagi ranah di tempat inovasi itu terjadi.
.

4. REKONSTRUKSI PENDIDIKAN VOKASI (SMK)

Faktor Internal:
Kualitas Tenaga Pendidik
Tenaga pendidik dan laboran di SMK harus benar – benar mempunyai keahlian baik teori maupun praktek serta selalu dapat mengikuti perkembangan pendidikan serta teknologi dan merupakan tenaga perdidik yang bersertifikat.

Kompetensi Tenaga Kerja
Tenaga lulusan SMK harus lulus uji kompetensi untuk dapat bersaing di pasar kerja sesuai dengan bidang keahlian dan program keahlian masing –masing lulusan SMK. Oleh karena itu perlu sistem pendidikan ganda dengan program magang kerja di lembaga atau instansi lain diluar sekolah untuk mempraktekkan ilmu dan ketrampilan yang didapat dibangku sekolah.

Sarana Prasarana
Sarana prasarana yang dikembangkan tidak hanya di sekolah tetapi juga diluar sekolah sebagai tempat praktek kerja bagi siswa magang maupun guru yang mengadakan pelatihan. Sarana Prasarana belajar mengajar dan praktikum di SMK harus berstandar dan selalu mengikuti perkembangan teknologi sehingga bermafaat bagi peserta didik.

Faktor Eksternal:
Menjalin Hubungan kerjasama SMK dengan DU/DI
Kerjasama antara SMK dengan perkantoran pemerintah ,swasta, pertokoan, swalayan, Perakitan komputer, jasa desain grafis, pemasaran asuransi, penjualan, perhotelan,perbankan yang biasa disebut PSG sangat dibutuhkan untuk mendapatkan umpan balik kurikulum dan keahlian yang diperlukan oleh DUDI dan yang harus disediakan oleh SMK

Potensi daerah
Potensi daerah disini dari penyumbang kontribusi PDRD pada sektor yang tertinggi yaitu perdagangan, Dengan mengetahui potensi perdagangan pada masing-masing kecamatan akan semakin terarah dalam penyediaan tenaga kerja lulusan SMK yang langsung dibutuhkan oleh DUDI.

Kemampuan IPTEK
IPTEK yang diperoleh secara formal harus berhubungan langsung dengan kebutuhan perdagangan. IPTEK yang mendukung potensi daerah dibidang perdagangan yang perlu dikembangkan misalnya pemasaran produk melalui internet, pembuatan desain iklan pemasaran yang menarik, membuat pembukuan akuntasi perdagangan secara detail dan rinci, membuat desai kemasan yang menarik, teknik menulis cepat untuk keahlian sebagai wartawan dan masih banyak lagi.

Kebijakan Pemerintah
Kebijakan dan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah merupakan arahan yang harus dipertimbangkan dalam pelaksanaan kegiatan organisasi, sehingga pengembangan program keahlian di SMK dapat disesuaikan dengan tuntutan DUDI bukan berdasarkan minat sesaat dari siswa tanpa memperdulikan mutu dan kualitas lulusan SMK.






TANTANGAN SMK KEDEPAN

Ketenagakerjaan dalam pendidikan kejuruan nampak bahwa pendidikan kejuruan tidak bisa dipisahkan dari masalah dunia kerja karena berkaitan langsung dengan masalah ketenagakerjaan. Menurut Wena,(1996) kesenjangan antara dunia pendidikan dengan dunia kerja terjadi karena adanya beberapa faktor, antara lain :
1. Adanya kerja sama timbal balik antara lembaga pendidikan kejuruan dengan dunia kerja.
2. Perubahan-perubahan ketenagakerjaan secara cepat.
3. Faktor internal dari lembaga pendidikan kejuruan yang tidak mampu untuk memprediksi secara tepat mengenai pekerjaan yang dibutuhkan dimasa mendatang.
4. Ketersediaan sarana dan prasarana.
5. Cepat usangnya suatu jenis pekerjaan




PERENCANAAN SMK
Dalam melakukan perencanaan pendidikan kejuruan Terdapat 3 paradigma antara lain:
1. Tradition Based : Perencanaan reaktif dari kondisi yang ada dan kurang didukung dengan data dan koordinasi antar sektor.
2. Comprehensive State Based : Systems competition & Human Capital theory: education is a key to growth and Social democrats: Education for social equality and democratisation
3. Market Based : Perencanaan berdasar kebutuhan pasar yang dipetakan.


1. Tradition Based Planning
1) Dominant type of planning:
1. The projection of the past into the future
2. The gradual adaptation of inherited practices to new conditions
3. Planning of VET mainly based on trades and industries
2) Weaknesses of tradition based planning:
1. Slow reactions on social changes
2. incremental adaptation challenged by radical social changes
3. Separate interests of individual trades and industries dominate

2. Comprehensive State Based Planning
1) Dominant type of planning:
1. Far reaching forecasts of labour market skills requirements
2. Planning of educations is included in comprehensive social planning
3. Technocratic planning: centralised, apolitical and based on experts
2) Weaknesses of state based planning:
4. Mismatch on the labour market
5. Unemployment among newly educated
6. Cuts on state budget withdrew the resources for planning
7. Reduced predictability of the economic changes to come
8. The national corporatist regimes under attack by globalisation

3. Market Based Planning
1) Cuts and increased efficiency in educational budgets demanded
1. More market regulation and privatisation
2. Decentralising and deregulation of public education
3. New Public Management: Output based regulation
4. More students for less money
2) Dominant type of planning:
1. Decentralised planning based on users/’customers’ skills requirements
2. Instrumental planning focussing on efficiency and productivity
3. Shift from supply to demand for education: choice, flexibility and modularisation
3) Weaknesses of Market Based Planning:
1. May be not suitable with the local social need;
2. Dominant with the global product and global market


PENDIDIKAN VOKASI YANG BERCIRIKAN KEUNGGULAN LOKAL

Peran Kebudayaan dalam Pembangunan Pendidikan Berkelanjutan
Salah satu fungsi pendidikan yang amat penting dan strategis adalah mendorong perkembangan kebudayaan dan peradaban pada tingkatan sosial yang berbeda. Pada tingkat individu, pendidikan membantu mengembangkan potensi diri menjadi manusia yang berakhlak mulia, berwatak, cerdas, dan kreatif. Selanjutnya, pendidikan juga menimbulkan kemampuan individu menghargai dan menghormati perbedaan dan pluralitas budaya sehingga memiliki sikap yang lebih terbuka dan demokratis. Dengan demikian, semakin banyak orang yang terdidik dengan baik, maka semakin dapat dijamin adanya toleransi dan kerjasama antar budaya dalam suasana yang demokratis sehingga akan membentuk integrasi budaya nasional dan regional.
Kebudayaan Indonesia seharusnya menjadi kekuatan dalam pembangunan yang berkelanjutan. Tetapi, selama ini sebagian besar teori pendidikan yang digunakan dalam negeri ini mengambil teori dari luar yang relevansinya masih perlu dipertanyakan, sehingga perlu melakukan penemuan kembali kebudayaan Indonesia untuk dijadikan kekuatan pembangunan. Selama ini diakui bahwa sebagian besar buku teks yang beredar di Indonesia merupakan hasil pemikiran pakar asing, yang secara tidak sadar telah membuat masyarakat Indonesia telah mengalami penetrasi kebudayaan asing secara besar-besaran. Hingga kini ilmuwan Indonesia belum banyak yang mampu membikin ilmu sendiri, karena selama ini penelitian ilmiah di Indonesia tidak berkembang pesat. Paradigma modernisasi yang dominan di Indonesia selama ini melihat kebudayaan sebagai penghambat. Setiap bangsa dalam membangun dirinya sendiri senantiasa memiliki kekuatan sendiri dalam dinamika internalnya. Hal ini mampu mendukung dan menyukseskan pembangunann yang bersumber dari kebudayaan dan tradisi masyarakat itu sendiri. Dengan kata lain, kebudayaan dan tradisi tertentu tidak boleh dipandang sebagai penghambat, melainkan merupakan potensi dan kekuatan bagi proses kemajuan suatu bangsa.
Dengan gagalnya paradigma modernisasi sebagai landasan pembangunan, maka perlu memperkenalkan paradigma baru pembangunan dengan menggunakan kebudayaan Indonesia sebagai kekuatan dasar. Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional telah dimasukkan sebuah paradigma baru pendidikan yang mampu memperkaya kebudayaan Indonesia pada masa depan dan menjadikannya kekuatan pembangunan, yaitu : "Pemerintah kabupaten/kota mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal". Jika hal ini dapat diimplementasikan dengan baik, pendidikan dapat mengubah nasib masyarakat lokal pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya di masa depan. Pendidikan berbasis keunggulan lokal dimaksudkan selain peserta didik memiliki keakraban dengan lingkungan terdekatnya, juga untuk menghasilkan lulusan yang siap mengembangkan potensi lokal dan dengan keunggulan dan keunikan lokal tersebut dapat mengembangkan dalam era global. Selain itu, pendidikan berbasis keunggulan lokal ini dapat mencegah urbanisasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi lokal dan pembangunan daerah.

Arah Pendidikan Vokasi
Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia lndonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Sistem pendidikan juga harus menumbuhkan jiwa patriotik dan mempertebal rasa cinta tanah air, meningkatkan semangat kebangsaan dan kesetiakawanan sosial, dan sikap menghargai jasa para pahlawan serta berkeinginan untuk maju. Iklim belajar mengajar yang dapat menumbuhkan rasa percaya diri sendiri dan budaya belajar di kalangan masyarakat terus dikembangkan agar tumbuh sikap dan perilaku yang kreatif, inovatif, dan berorientasi ke masa depan.
Aspirasi masyarakat pada saat ini menunjukkan arus yang kuat bahwa pimpinan nasional perlu bertanggung jawab terhadap paradigma baru pembangunan nasional yang menitikberatkan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) menjadi subjek pembangunan di berbagai bidang kehidupan. Dalam pengembangan SDM, pendidikan memegang peranan kunci karena sebagai pendekatan dasar dan bagian penting dalam suprasistem pembangunan bangsa. Untuk itu, dalam rangka pengembangan SDM masa depan diperlukan reformasi yang mencakup upaya mereposisi sistem pendidikan nasional dalam pembangunan nasional, mempercepat implementasi kebijakan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan, meningkatkan penyelenggaraan pendidikan, dan mengembangkan sistem pendidikan terpadu.
Alasan pokok mereposisi sistem pendidikan nasional dalam pembangunan nasional, antara lain karena selama ini posisi pendidikan dipandang hanya sebagai bagian dari pembangunan sosial. Pendidikan tidak diletakkan sebagai sistem yang sama pentingnya dengan sistem-sistem lain dalam pembangunan nasional yang meliputi sejumlah sistem yang terdiri atas ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, serta keamanan dan pertahanan. Di samping itu, pendidikan belum berperan secara optimal dalam mengembangkan SDM melalui pemerataan kesempatan pendidikan, penyelenggaraan pendidikan secara terpadu, sehingga luaran (output) pendidikan lebih banyak yang menjadi masyarakat pencari pekerja (worker society), bukan masyarakat pencipta lapangan kerja (employee society) atau masyarakat pewirausaha (entrepreneurship society). Dengan demikian, pendidikan belum menjadi pemicu utama dalam pengembangan sumber daya manusia, tapi justru menjadi kontributor utama dalam peningkatan jumlah pengangguran.
Penyelenggaraan pendidikan perlu direformasi sehingga mewujudkan pendidikan terpadu yang mencakup jalur, sistem, tujuan, kurikulum, proses pembelajaran, lokasi/wilayah, dan manajemen pendidikan. Keterpaduan pendidikan ini mengandung misi untuk menghasilkan SDM yang kuat dalam keimanan dan ketakwaan, nilai-nilai moral serta kebangsaannya; menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan memiliki kecakapan hidup yang fungsional untuk mengembangkan diri, mampu hidup mandiri, berwirausaha dan membuka lapangan kerja, serta menjadi subjek yang bertanggung jawab dan berperan aktif dalam pembangunan lokal, daerah, dan nasional. Strategi pembelajaran perlu direlevansikan dengan penerapan misi pendidikan dalam gerakan membangunan masyarakat desa/kota (community development) sehingga pendidikan berperan dalam menghasilkan SDM yang mampu menumbuhkan pembangunan yang berakar kuat di masyarakat sebagai fondasi yang kokoh bagi pembangunan daerah dan nasional.
Memasuki era global, dunia pendidikan di Indonesia pada saat ini dan yang akan datang masih menghadapi tantangan yang semakin berat serta kompleks. Indonesia harus mampu bersaing dengan negara-negara lain, baik dalam produk, pelayanan, maupun dalam penyaiapan sumber daya manusia. Pendidikan kejuruan dan vokasi sebagai salah satu sub sistem dalam sistem pendidikan nasional dengan peranannya mempersiapkan dan mengembangkan SDM yang mampu bekerja secara profesional di bidangnya telah menetapkan berbagai langkah dan program strategis yang terencana dan tersistem dalam Program Pembangunan Nasional. Berkaitan dengan hal ini, beberapa kebijakan strategis antara lain berupa Reposisi Pendidikan Kejuruan Menjelang 2020 telah dilakukan pemerintah. Reposisi dan reorientasi dimaksudkan proses penataan, perencanaan dan implementasi pendidikan kejuruan melalui analisis dan pengkajian potensi wilayah sebagai langkah penyesuaian bidang/program keahlian yang diselenggarakan oleh pendidikan kejuruan (vokasi) sesuai dengan kondisi dan kebutuhan wilayah. Konsekuensi dari kebijkan ini dibukanya program keahlian baru yang sesuai dengan potensi daerah dan memiliki prospek membangun perekonomian daerah dan sebaliknya ditutupnya program keahlian yang tidak lagi sesuai dengan potensi daerah. Lebih lanjut, dalam Buku Reposisi Pendidikan Kejuruan menjelang 2020 yang menyebutkan bahwa: (a) kelompok program Pertanian, Pariwisata, Perikanan dan kelautan serta Teknologi Informasi merupakan program unggulan yang diproyeksikan akan mengalami perkembangan yang sangat pesat. (b) kelompok program Teknologi dan Industri serta Kelompok Seni dan Kerajinan, merupakan program yang cukup stabil dan diproyeksikan akan mengalami perkembangan yang wajar, dan (c) kelompok program Bisnis dan Manajemen, merupakan program yang diproyeksikan akan mengalami kejenuhan di pasar kerja, sehingga secara bertahap akan dilakukan pengalihan ke Bidang/program keahlian yang masih relevan dan prospektif terserap di pasar kerja.
Kebijakan pemerintah akhir-akhir ini adalah akan mengubah rasio sekolah menengah kejuruan (SMK) dengan sekolah menengah atas (SMA) yang saat ini masih 30:70 ditargetkan menjadi 40:60 pada 2008 dan rasio menjadi 70:30 pada 2009. Dalam kurun waktu yang sama (2009/2010), pertumbuhan pendidikan vokasi dalam bentuk politeknik diharapkan juga terjadi penambahan sebanyak 20 sekolah per tahun atau sebanyak 60 politeknik baru yang akan tersebar di tingkat kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Perubahan ini akan mempengaruhi tatanan penyelenggaraan pendidikan, sosial, ekonomi, dan lapangan kerja.

Pendidikan Vokasi dan Keunggulan Lokal
Melalui desentralisasi pendidikan, suatu daerah dapat mengembangkan potensi wilayahnya sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Salah satu kebijakan yang dapat dikembangkan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Pendidikan berbasis keunggulan lokal dimaksudkan proses penyelenggaraan pendidikan yang memanfaatkan keunggulan lokal dalam aspek ekonomi, seni budaya, SDM, bahasa, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain yang bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik yang dapat dimanfaatkan untuk persaingan lokal, nasional, maupun global.

Satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal merupakan paradigma baru pendidikan untuk mendorong percepatan pembangunan di daerah berdasarkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Dengan demikian, daerah atau sekolah memiliki cukup kewenangan untuk merancang dan menentukan hal-hal yang akan diajarkan. Masing-masing daerah mempunyai keunggulan potensi daerah yang perlu dikembangkan yang lebih baik lagi. Dengan keberagaman potensi daerah ini, pengembangan potensi dan keunggulan daerah perlu mendapatkan perhatian secara khusus dari pemerintah daerah sehingga generasi muda daerah tidak asing dengan daerahnya sendiri dan faham betul tentang potensi dan nilai-nilai serta budaya daerah sendiri, sehingga mereka dapat mengembangkan dan memberdayakan potensi daerah sesuai dengan tuntutan ekonomi maupun ketenagakerjaan. Di samping itu, keberhasilan sekolah berbasis keunggulan lokal akan mampu mengatasi masalah urbanisasi, penganggguran, dan ketertinggalan di ilmu pengetahuan dan teknologi.
Salah satu pengembangan pendidikan atau sekolah berbasis keunggulan lokal adalah kurikulum pendidikan. Sebaiknya, kurikulum pendidikan merupakan ramuan antara kurikulum nasional dan nilai-nilai daerah, antara lain nilai-nilai budaya, sumber daya alam, potensi, serta pemikiran yang layak dilestarikan melalui jalur pendidikan formal. Sekolah-sekolah yang berbasis potensi daerah akan mendapat dukungan masyarakat karena lulusannya dapat bekerja langsung di daerah masing-masing. Namun, konsep pengembangan sekolah ini akan menghadapi masalah jika perekonomian di daerah bersangkutan tidak berkembang, sehingga tempat bekerja tidak memadai untuk para lulusan. Paradigma ini mengandung arti bahwa pendidikan kejuruan dan vokasi mempunyai peran penting dalam pengembangan sekolah berbasis keunggulan lokal. Untuk itu, dalam pengembangan sekolah berbasis keunggulan lokal perlu melakukan kajian dengan melibatkan semua stakeholder pendidikan untuk merumuskan bersama tentang keunggulan lokal, sehingga keunggulan lokal ini terintegrasi dalam materi pembelajaran yang disusun sesuai jenjang pendidikan.
Sebagaimana dinyatakan Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo, dalam harian Pikiran Rakyat, 24 Mei 2007 bahwa “Sejatinya, pendidikan berbasis keunggulan lokal merupakan ikhtiar untuk memajukan bangsa dengan bersandar pada kekuatan sendiri. Sehingga, daerah memiliki kekuatan untuk membangun daerah di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pada gilirannya dapat berkompetisi di tingkat nasional. "Dengan demikian, diharapkan pendidikan bisa berdampak langsung pada sendi-sendi kehidupan masyarakat dan mampu melahirkan kemandirian serta menumbuhkan daya saing, karena kompetensi yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan lingkungan, diharapkan hasil pendidikan yang diperoleh tidak mengawang-awang. Lulusannya pun bisa lebih cepat terserap industri atau dunia usaha di lingkungan sekitar."

REKOMENDASI UNTUK SMK SAAT INI:
1. Indonesia harus menyiapkan secara serius kualitas pendidikan , khususnya SMK, sebagai bekal untuk bersaing perlu mempelajari Matematika, Sain, B. Inggris, ICT serta Kompetensi Keahlian utamanya;
2. SMK didorong untuk melaksanakan partnership dengan sekolah sejenis di negara lain;
3. Potensi Program Keahlian di SMK harus terus direvitalisasi untuk dijadikan unggulan ;
4. Pencitraan SMK harus dilaksanakan terus menerus bagi masyarakat, industri, Stakeholder dan partner strategis lain;
5. Program keahlian Hard ( Automotive, Konstruksi Bangunan, Elektronika, Teknik Mesin) dan keahlian “light” ( Akuntansi, Marketing, Sekertaris, Restourant Service, dll ) direvitalisasi sehingga memiliki inti kompetensi spesifik, diperkaya dgn ketelitian, layanan prima dan citarasa seni.
6. (1) SMK lain dapat mengadopsi atau mengadaptasi lama belajar dari tiga tahun menjadi empat tahun dengan mempertimbangkan semua aspek secara komprehensif dengan melibatkan komiter sekolah dan orangtua siswa. Perubahan lama belajar tersebut dilakukan untuk mendekatkan lulusannya dengan dunia kerja baik regional, nasional, maupun internasional, (2) lama belajar tiga tahun yang selama ini dilakukan oleh SMK lain harus ditunjang oleh ketersediaan sarana memadai, terutama unit produksi yang dikelola seperti keadaan dunia kerja sebenarnya, (3) pengelolaan SMK dengan manajemen standar ISO 9001-2000 harus sudah dimulai, dengan standar tersebut pengelolaan sekolah terstandar secara internasional, (4) kerjasama dengan dunia usaha dan industri bagi SMK lain menjadi keharusan, kerja sama tersebut mengikat kedua belah pihak dan saling menguntungkan, dan (5) SMK lain dapat memberikan layanan berupa bimbingan konseling, career path, dan bursa kerja untuk meningkatkan keterserapan lulusan ke dunia kerja.
7. Revitalisasi Kompetensi Keahlian di SMK dengan basis pengembangan pendidikan adaptif yang kuat, Bahasa Inggris dan Pemanfaatan ICT
8. Pembelajaran di BLK/Industri melalui factory School atau PSG
Dalam rangka upaya meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia tenaga kerja maupun angkatan kerja yang berkualiatas rendah, maka Pemerintah agar lebih mengefektifkan lagi program-program peningkatan SDM yang dilaksanakan tentunya berorientasi pada penempatan tenaga kerja formal di perusahaan dan penempatan tenaga kerja di sektor informal (usaha mandiri) dengan selalu mengacu pada potensi SDA antara lain:
1. Peningkatan kualitas dan kuantitas pelatihan tenaga kerja, SMK di BLK/KLK serta lembaga latihan latihan swasta (DU/DI) yang ada dengan berorientasi pada pasar kerja.
2. Membentuk tim perencanaan tenaga kerja Kabupaten serta mengaktifkan Dewan Ketenagakerjaan Daerah (DKD) guna memecahkan masalah ketenagakerjaan khususnya masalah kesempatan kerja, lowongan kerja maupun pengangguran.
3. Meningkatkan program kegiatan pelatihan pada angkatan kerja di pondok-pondok pesantren maupun umum dalam rangka penempatan tenaga kerja sektor informal melalui APBD.
4. Meningkatkan pembinaan hubungan industrial dan pengawasan ketenagakerjaan secara kontinyu dan pereodik dengan lebih mendorong pembentukan perjanjian kerja bersama (PKB) di perusahaan
Pendidikan sistem ganda (PSG) adalah konsep belajar dan bekerja dimana pelatihan pekerjaan harus berorientasi pada pengelompokkan qualifikasi dan kompetensi untuk proses yang berhubungan dengan bekerja (Dikmenjur,2007) Mengapa perusahaan bersedia bekerja sama dalam program PSG ini dikarenakan ada beberapa alasan dan keuntungan yaitu dengan memberikan training maka keberadaanya dinyatakan sebagai lembaga yang mmeberikan pertimbangan untuk penawaran pelatihan yang dapat langsung dinikmati oleh perusahaan dengan mengajak beberapa praktisi secara langsung dapat memperoleh hasil dari perusahaan.

3 komentar:

  1. Dengan hormat
    Assalamualaikum pak,
    Kami justru sedang mencari konsep seperti ini dan Kami sedang menuju kearah konsep ini, namun pak Kami juga sedang mencari bantuan dari donatur lain selain dari Pemerintah,Konsep dapat dilaksanakan adanya Donatur, Tolong pak petunjuk siapa dan dimana Kami dapatkan Donatur untuk SMK Kami yang sedang dikelola terimakasih wasalam
    Purwakarta, 7 September 2011
    SMK SAINS dan Teknologi Manggala
    ttd
    KABAG Tata Usaha
    Tb.Jayusman

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih pak atas Saran Bapak.
      Selama ini meninjau dari pengalaman kawan -kawan di SMK, biasanya yang mendapatkan hibah di bidang praktikum pak. Namun proses untuk mendapatkan hibah itu terlalu panjang anak tangganya pak. ...

      Hal inilah tentunya yang perlu mendapatkan perhatian oleh pemerintah setempat....

      Salam dan terimakasih,

      Hendra Jaya.
      Staff at UNM makassar

      Hapus
  2. Assalamu'Allaikum wr. wb.

    Senang bisa membaca karya tulis ilmiah Bapak ini
    Saya tidak mengira bahwa blog ini adalah milik Bapak
    ketika saya mencari bahan dari internet yg berhubungan dengan mata kuliah saya Landasan Pendidikan Kejuruan.

    Terima Kasih,

    Pangadongan Elfin P.
    Student at PPS UM

    BalasHapus